A. RIWAYAT HIDUP
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA atau Azra, lahir di Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatra Barat, pada 4 Maret 1955, dari pasangan Azikar dan Ramlah. Terlahir sebagai anak ke 3 dari keluarga yang sangat agamis. Sejak kecil Azra dididik kedua orang tuanya untuk mencintai ilmu pengetahuan. meskipun kondisi finansial keluarganya termasuk pas-pasan, keluarga ini tetap mementingkan pendidikan anak-anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Sejak kecil Azra mengenyam pendidikan.[1] Melalui ayahnya pula ia dididik mencintai ilmu. Kedua orang tuanya menyadari betul bahwa mereka tidak dapat mewariskan dan membekali dengan harta benda kepada anak-anaknya.
Pendidikan Azra diawalai dari Sekolah Dasar yang berada di dekat rumahnya. Sejak kecil Azra dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai, bahkan ia sudah mampu membaca sebelum masuk sekolah. Hal ini karena ia terbiasa membaca sebelum memasuki Sekolah Dasar. Menurut Azra, gurunya pun heran akan kemampuan membacanya tersebut, karena di SD dia tidak perlu belajar membaca lagi sebagaiman dilakukan teman-temannya.
Kemudian Sekolah Menengah Pertamanya dilanjutkan di Sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri (SPGAN) Padang. Di Sekolah Menengah Pertama ini bakat Azra mulai kelihatan, yakni di bidang ilmu hitung atau matematika. Berkat kemampuan inilah ia mendapat julukan dari teman-temannya sebagai "Pak Karniyus"; nama guru Aljabar dalam Ilmu Ukur di sekolahnya. Kalau Pak Karniyus tidak datang, maka Azra yang menggantikannya mengajar di depan kelas.[2]
Setelah menyelesaikan sekolahnya di PGAN pada tahun 1975, ayahnya memintanya melanjutkan studi pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Padang, namun dia tidak memiliki minat untuk melaksanakan amanah sang ayah, karena ia lebih suka Grafindo belajar sejarah di Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendiidkan (IKIP), atau belajar sejarah di Universitas Andalas.
Namun demikian, sang ayah tetap meginginkan dia melanjutkan di IAIN Padang, akhirnya ia melnjutkan kuliah dengan catatan ia mengambil kuliah di IAIN Jakarta. Ia menyadari betul keadaan geografis kota metropolitan yang sangat kondusif untuk mengembangkan tradisi intelektualnya yang dia impikan. Ia ingin meneruskan kiprah para tokoh Minang yang sudah lebih dulu merantau dan sukses seperti Muhammad Natsir, Buya Hamka, dan tokoh minang lainnya.
Saat kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azra sudah dikenal sebagai seorang aktivis, baik di organisasi intra maupun ekstra Universitas. Pertama kali ia terpilih sebagai ketua Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakrta, dan terpilih sebagai Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat periode 1981-1982. Meski dia banyak terlibat dalam kegiatan kemahasiswaan, ia juga terkenal sebagai pemikir atau intelektual.
Sebagai bukti dari intelektual Azra adalah keterlibatannya di dunia jurnalistik atau tulis menulis di media masa, tanpa meninggalkan aktifitasnya di kampus. Saat itu dia telah bergabung di majalah Panji Masyarakat sebagai wartawan,. Ia menuliskan gagasannya dalam karya tulis dan juga ia mulai aktif menulis kolom sejak usia muda. Kemampuan dan produktivitasnya menulis berlanjut hingga kini di sela-sela kesibukannya sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dewan Kehormatan dalam berbagai organisasi bertaraf nasional maupun internasional. Bahkan hingga kini dia menjadi salah satu intelektual Muslim yang paling produktif menulis. Kapasitas dan kapabilitas intelektual Azra antara lain adalah dipercaya sebagai Rektor IAIN, lau Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakrta selama dua periode (1998-2002 dan 2002-2006). Karirnya dalam dunia intelektual dimulai dari menjadi wartawan majalah Panji Masyarakat (1979-1985), Dosen pasca sarjana Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1992- sekarang), Guru Besar Sejarah Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembantu Rektor I IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1998). Ia juga merupakan orang Asia Tenggara pertama yang diangkat sebagai Profesor Fellow di Universitas Malbourne Australia (2004-2009), dan anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International Islamic University Islamabad di Pakistan (2004-2009).
B. PEMIKIRAN DAN PANDANGAN DI BIDANG PENDIDIKAN
1. Penddidikan Sebagai Prasyarat Pembentukan Masyarakat Madani
Bagi Azra, pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk mengajak seseorang keluar dari kemiskinan dan kehancuran. Sebagai Muslim yang taat, ia meyakini anjuran Islam akan pentingnya pendidikan bagi setiap umat. Seraya mengutip ayat al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. pertama kali, yaitu "Iqra'' yang artinya "Bacalah" yang terdapat dalam surat al-Alaq ayat 1-5. [3]Seruan ini menurutnya sangat fundamental untuk diamalkan agar umat Islam menjadi "berpengetahuan" (literate) dan tidak menjadi umat yang buta pengetahuan (iliterate). Ia sangat mendukung pengembangan ilmu pengetahuan yang tersirat dalam Surah al-Zumar ayat 9, dan juga Hadits yang menekankan bahwa 'menuntut ilmu adalah kewajiban umat Muslim'.[4]
Azra menegaskan bahwa kemajuan bangsa tidak akan terwujud tanpa pendidikan. Karena pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan kepada peserta didik, tetapi juga membentuk kesadaran mereka akan hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara. Pendidikan juga membuka cakrawala pengetahuan tentang keragaman atau multikulturalisme dunia.[5]
Azra mengatakan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara dan masyarakat meiliki keterlibatan yang besar, sehingga memperkuat "people to people network" yang mendukung partisipasi ekonomi, politik, dan sosial yang pada giliranya memperkuat civil society. kemudian Azra menjelaskan bahwa cara paling strategis untuk "mengalami" demokrasi adalah pendidikan demokrasi democracy education), yang secara subtantif meliputi sosialisasi, diseminasi dan aktualisasi konsep, sisitem, nilai, budaya, dan praktik demokrasi melalui pendidikan. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan kewargaan yang meliputi segi-segi tertentu sangat identik pula dengan dengan pendidikan demokrasi.[6] Karena pendidikan kewargaan meliputi pembahasan tentang pemerintah, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, dan hak serta kewajiban negara. Kesemua unsur tersebut bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan civic culture yang juga merupakan salah satu tujuan dari pendidikan kewargaan (civic education).[7]
2. Pendidikan Multikultural
Menurut Azra, seiring runtuhnya rezim Suharto dan tumbuhnya iklim demokrasi, Indonesia saat ini membutuhkan pendidikan demokrasi atau pendidikan kewargaan dan pendidikan multibudaya (multicultural education). Pendidikan kewargaan telah berkembang di lingkngan lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, sedangkan pendidikan multibudaya masih menjadi wacana baru. Oleh karena itu menurutnya, masih banyak hal yang dilakukan untuk mewujudkan pendidikan multibudaya ini di Indonesia.
Untuk konteks pendidikan agama, menurut Azra, pendidikan multibudaya ini sangat diperlukan untuk mendukung hakekat pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Hal ini desebabkan sebagian orang melihat pendidikan agama kurang berhasil dalam membentuk prilaku dan sikap keagamaan yang mencerminkan iman dan takwa (imtak) dan kurang berhasil dalam menumbuhkan sikap beragama, baik intra maupun antar beragama. Menurutnya, pendidikan agama tetap diperlukan, namun harus dengan menggunakan orientasi baru, yakni dengan menekankan perspektif multikultulisme yang pada dasarnya menekankan adanya pengakuan dan penghormatan atas perbedaan-perbedaan yang memang tidak bisa dielakkan umat beragama manapun. Selain itu menurut Azra, yang harus dilakukan adalah memperbaiki metode pembelajaran yang berorientasi multikulturalisme dari penekanan yang terlalu kuat pada aspek kognitif kepada aspek afektif dan psikomotorik. Selain daripada itu juga peningkatan kualitas guru, baik dari sudut pemahaman atas keagamaannya sendiri maupun agama lain, sehingga mereka sendiri dapat memiliki perspektif multikulturalisme yang tepat.
3. Transformative Learning
Pemikiran mengenai terasformative learning digagas Azra untuk mengajak umat Muslim melakukan refleksi atas berbagai musibah yang tiada henti di bumi Indonesia. Azra sangat tidak setuju dengan penafsiran orang yang mengatakan bahwa bencana adalah kemurkaaan Allah. Sebaliknya, dia sangat yakin bahwa kasih sayang Allah jauh lebih besar dari kemurkaan-Nya. " Bagi saya yang sangat meyakini bahwa Allah itu Maha Pengasih (ar-Rahman) dan maha Penyayang (ar-Rahim), agak sulit memahami kalau ada kemurkaan Tuhan yang tiada putus-putus itu. Kasih sayang Allah itu jauh lebih besar, luas tiada bertepi, dari pada kemarahan dan kemurkaan-Nya. Pendidikan modern menurutnya, lebih berorientasi untuk mencapai progress khususnya dalam bidang ekonomi dan mengorbankan perspektif kosmologis tentang kesatuan manusia dan alam lingkungannya.[8]
Ia mengusulkan agar pendidikan transformatif kiranya perlu dijadikan pertimbangan untuk diterapkannya dalam proses pembelajaran. Pertama, pengujian dan perenungan misteri alam raya. Kedua, penanaman dan penguatan proses penguatan makna. Ketiga, penanaman dan pemberdayaan konsep tentang kesatuan dan integrasi alam dengan manusia. Keempat, kepercayaan tentang kapasitas manusia berpartisipasi dalam penciptaan dunia berkeadilan, kasih sayang, kepedulian, dan kegembiraan. Kelima, penanaman dan pemberdayaan cita ideal tentang masyarakat yang saling berkaitan dalam tradisi demokratis. Keenam, penanaman sikap tanggung jawab mengatasi ketidakadilan dan penindasan. [9]
4. Pendidikan Antikorupsi
Menurut Azra, pendidikan antikorupsi penting untuk segera dilaksanakan dalam pembaruan pendidikan di Indonesia, khususnya berkaitan denan pembuatan kurikulum yang dapat dijadikan langkah awal bagi sosialisasi bahayanya budaya korupsi di masyarakat. dalam penerapannya, Azra menyebutkan ada dua kemugkinan pendekatan dalam penerapan pendidikan antkorupsi ini, yaitu pendidikan antikorupsi menjadi mata kuliah tersendiri atau pendidikan antikorupsi ini diintegarsikan dengan mata kuliah yang sudah ada.[10]
Program antikorupsi ini mendapat dukungan dari Menteri Agama Republik Indonesia. Beliau berpendapat bahwa upaya pembrantasan korupsi harus mendapat dukungan dari Lembaga Pendidikan Agama. Lembaga Pendidikan Tinggi Islam seperti UIN/IAIN memiliki tanggung jawab yang tidak ringan di dalam menanamkan sikap dan tindakan antikorupsi kepada setiap peserta didiknya. Beliau sangat menyambut baik usaha yang ditempuh Center for the Study of Riligion and Culture (CSRC), UIN jakarta, yang menerbitkan buku ajar tentang pendidikan antikorupsi. Nantinya buku itu diharapkan bisa manjadi salah satu bahkan mata kuliah di lingkungan perguruan tinggi Islam.[11]
[1] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Persada, 2003), 392-393
[2] Ratnaningsih, “Pemikiran Azyumardi Azra tentang Pembaharuan Pendidikan Islam Indonesia Abad 21 “ hal.54
[3] Azyumardi Azra, “ Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakrta: logos, 2000), 12.
[4] Azra, “ Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium, hal. 13.
[5] Republika, Resonansi,Kamis, 30 Desember 2004, hal. 12.
[6] Azyumardi Azra,” Pendidikan Kewargaan dan Demokrasi di Indonesia”, Makalah, 2005, hal. 6
[7] Azra, ,” Pendidikan Kewargaan dan Demokrasi di Indonesia”, hal. 5.
[8] Azra, ,” Transformative Learning”, hal12
[9] Azra, ,” Transformative Learning”, hal.12
[10] Pelita, “Rektor UIN Prof. Dr Azyumardi Azra MA; Segera Diluncurkan Buku Pendidikan Atikorupsi”, Sabtu, 2 September 2006, hal.7.
[11] Pelita, “Rektor UIN Prof. Dr Azyumardi Azra MA, hal.7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar