Jumat, 04 Maret 2011
KAIDAH DASAR ISLAM
Kaidah-Kaidah Dasar Islam
Kaidah yang pertama dan utama adalah keyakinan terhadap Allah sebagai Kholiq (Pencipta), serta tauhid Rubbubiyah (Tuhan), Ulihiyah (Ilah, segala kepadaNya), dan Mulkiyah (Raja)
Kaidah kedua Tentang Fungsi dan Tugas Penciptaan Manusia, Manusia dikaruiniai akal / fikiran, utk disiapkan menerima amanah sebagai khalifatul fil ardh, sebagai pemegang Mandat atas kekuasaan mengatur sumberdaya di Bumi/Dunia
“Rule of the Game” atau aturan main yang digariskan Allah terhadap manusia adalah :
• Taat (ikut perintah, jauhi larangan ~ Iman & Taqwa ), beramal sholih –> Syurga
• Khianat, sesat, Syirik (jahil) –> Neraka
An Nahl 97. Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Sebagai gambaran pemikiran kita berikut Historical Mind perihal sistematika yang Allah rancang untuk manusia :
1. Awalnya ~ Adam mendapatkan hidayah langsung dari Allah,
2. Kemudian anak-cucunya, mulai menyimpang, memalsukan, menginterpretasikan ayat2 semau mereka. –> mereka golongan jahiliyah
3. Tapi Allah tidak binasakan manusia atas kejahilanya, malah Allah menurunkan/mengutus orang2 yang taat padaNYA dan memuliakan manusia-Nabi
4. Sampai dengan utusan Allah terakhir, Nabi Muhammad SAW, sebagai penutup para nabi mengajarkan ajaran Dienul Islam yang sempurna
Ibrahim - 24. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
Ibrahim - 25. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat
Di akses pada tanggal 05 maret 2011 dari kono-ikiru.blogspot.com/2009/..
.
Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap aspek kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Islam juga memiliki banyak prinsip dasar yang memberikan frame khusus pada bab muamalah. Oleh karenanya, sudah sepatutnya bagi setiap pengusaha muslim untuk mempelajari dan memahami kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip Islam dalam jual beli (bisnis) agar ia dapat membedakan antara praktik bisnis yang halal dan yang haram, yang hak dan yang batil, dan ia juga bisa menyelamatkan dirinya dan hartanya dari hal-hal terlarang seperti riba, dusta, penipuan, dan selainnya.
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar bin Khathab radhiyallahu anhu, bahwa ia mengeluarkan setiap pedagang yang tidak paham tentang jual beli (yang syar’i) dari pasar, seraya berkata, “Tidak diperkenankan berdagang di pasar-pasar kaum muslimin bagi siapa saja yang tidak memahami seluk beluk riba.”
Diriwayatkan juga dari Imam Malik bahwa beliau memerintahkan para penguasa untuk mengumpulkan seluruh pedagang dan orang-orang pasar, lalu beliau menguji mereka satu-persatu, saat beliau dapati diantara mereka ada yang tidak mengerti hukum halal-haram dalam jual-beli beliau melarangnya masuk ke pasar seraya menyuruhnya mempelajari fiqih muamalah (bisnis), bila telah paham, orang tersebut dibolehkan masuk pasar. (lihat Al maaliyah wal Mashrafiyyah, DR. Nazih Hamad, hal.359).
Di antara kaidah-kaidah dasar dalam muamalah yang terpenting adalah sebagai berikut:
1. Hukum Asal dalam Bab Muamalah adalah Mubah
Mayoritas ulama fikih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah mubah (diperbolehkan), kecuali terdapat dalil shahih dan jelas yang melarangnya. (lihat Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, Dr. Shalih As-Sadlan)
Prinsip ini berbeda dengan prinsip ibadah. hukum asal dalam ibadah adalah dilarang hingga ada dalil shahih yang membolehkannya atau mensyariatkannya. Hal ini dimaksudkan agar manusia tidak berlomba-lomba membuat sesuatu yang baru dalam agama Allah yang tidak diajarkan.
Di antara dalil bagi prinsip dasar ini ialah firman Allah:
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنزلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلالا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
“Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS.Yunus:59).
Dan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al-Ma-idah: 1)
Dan firman-Nya pula:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولا
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-isra’: 34)
Aqad (perjanjian) di sini sifatnya mutlak, mencakup janji hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Dalil lainnya ialah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
Dan firman-Nya pula:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Dan Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119)
Ayat-ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa apa saja yang tidak diharamkan oleh Allah maka hukumnya halal atau mubah. Dan juga mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu mengakomodir transaksi modern yang berkembang.
2. Hukum asal segala sesuatu adalah bebas tanggungan
Asal status hukum kepemilikan seseorang adalah terbebas dari segala tuntutan. Tidak ada seorang pun yang dituntut oleh orang lain tentang sesuatu yang dimilikinya, kecuali jika ada bukti kuat yang menafikannya. Jika hanya sekadar pengakuan atau tuduhan, maka dianggap tanpa ada landasan dan alasan yang kuat.
Barangsiapa mengaku punya piutang terhadap orang lain tetapi tidak memiliki bukti yang kuat dan meyakinkan, maka orang yang didakwa berhutang padanya bebas dari dakwaan tersebut bila ia mengingkarinya. Sebab orang yang mendakwa ingin agar uang yang dihutang bisa disandarkan jadi hak miliknya. Padahal hukum asal kepemilikan sesuatu itu bebas dan orang yang mengaku-ngaku tersebut bertentangan dengan hukum asal. Dan barangsiapa bertentangan dengan hukum asal, maka hendaknya dia menunjukkan suatu bukti yang kuat dan meyakinkan.
Dari prinsip ini, maka lahirlah prinsip lain yaitu ‘bukti diharuskan ada bagi pihak yang mendakwa (mengaku) dan sumpah itu diambil dari orang yang mengingkarinya’.
Prinsip ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لاَدَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ وَلَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِيْنَ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ
“Jika semua orang diberikan (apa yang mereka dakwakan) hanya dengan dakwaan mereka, maka akan banyak orang yang mendakwakan harta dan jiwa orang lain. Tapi yang mendakwa harus mendatangkan bukti dan terdakwa yang mengingkari harus bersumpah.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan selainnya, dan sebahagiannya di Shahihain)
Ibnu Daqiq Al-‘Ied berkata: “Dan hadits ini adalah salah satu pokok hukum dan referensi utama dalam pertentangan dan perselisihan. Konsekuensinya seseorang tidak boleh divonis hanya dengan dakwaannya.” (Syarah Arba’in, Ibnu Daqiq, hlm.117)
3. Prinsip tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain
Islam melarang umatnya untuk melakukan sesuatu yang mendatangkan bahaya pada orang lain dan mengakibatkan kerusakan di atas muka bumi. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 2430 dan Ahmad no.2867)
Sebagai penerapan dari prinsip ini, maka setiap pengusaha muslim dituntut untuk memiliki kemampuan dalam menyeimbangkan antara kemaslahatan untuk dirinya dan untuk masyarakatnya, ketika dia memanfaatkan hartanya dalam investasi.
Wajib bagi pengusaha muslim untuk menelaah keadaan masyarakat dengan jeli, yang kemudian mendorongnya untuk melakukan kewajiban-kewajibannya sehingga bisa mendatangkan manfaat untuk mereka. Dia tidak membatasi diri untuk melakukan kebaikan, jika terdapat kemanfaatan untuk manusia pada umumnya.
4. Segala sesuatu yang mengantarkan pada keharaman, maka hukumnya haram
Di antara hikmah Allah yang agung adalah ketika Allah mengharamkan sesuatu, maka Allah menjaganya dengan sebuah penjagaan yang sangat ketat, yaitu dengan menutup semua pintu yang mengantarkan seseorang ke sana. Oleh karena itu segala sarana yang mengarahkan manusia ke jalan yang haram, maka diharamkan juga. Hal ini ditetapkan untuk menutup kemungkinan-kemungkinan lainnya. Dosa yang terdapat pada perbuatan haram, tidak hanya diberikan pada pelakunya saja, namun juga kepada semua pihak yang membantu terlaksananya perbuatan tersebut.
Dalam masalah riba, Rasulullah melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, orang yang memberinya, penulisnya, dan saksinya. Begitu juga dengan diharankannya khamr. Rasulullah melaknat peminumnya, pembuatnya, penyajinya, alat yang digunakan untuk menyajikannya, yang memakan hasil keuntungannya, dan semua pihak yang membantu terlaksananya perbuatan haram tersebut. (Hadits yang melaknat riba dan khamr serta siapa saja yang bersangkutan dengan keduanya dapat dibaca pada majalah Pengusaha Muslim edisi 02 Volume 1 di rubrik Kajian Kita hal. 41)
5. Beralasan untuk melaksanakan yang haram, tidak mengubah status keharamannya.
Islam telah menutup rapat upaya-upaya untuk mencari celah dan alasan agar seseorang dapat malakukan perbuatan haram tersebut, misalnya dengan menggunakan sarana yang samar dan mambuat-buat alasan. Bisa juga dalam bentuk menyebut sesuatu yang aslinya diharamkan dengan nama lain, atau menampilkannya dengan cover yang berbeda tanpa mengubah intinya. Tindakan tersebut tidak menjadikan status keharamannya berubah menjadi halal.
Mencari-cari alasan atas sesuatu yang telah diharamkan merupakan sifat dan karakter kaum Yahudi. Rasulullah menceritakan tentang suatu masa, di mana akan banyak manusia yang menghalalkan riba dengan nama jual beli. Padahal riba tetaplah riba sekalipun ia dinamakan dengan bunga, keuntungan, kelebihan, atau penjualan. Dalam masalah ini Ibnul Qayyim berkata, “Kerusakan yang sangat besar yang dikandung dalam riba, tidak cukup hanya dengan mengubah nama aslinya dari riba menjadi transaksi lainnya. Begitu juga tidak berarti hanya dengan mengubah bentuknya menjadi bentuk lainnya.” (Lihat Ighatsatu Al-Lahfan Min Mashayidi Asy-Syaithan, pada pasal golongan yang menghalalkan riba).
6. Niat baik tidak melegalkan diperbolehkannya melakukan yang haram.
Haram tetap menjadi haram, sebaik apapun niat pelakunya. Karena dalam Islam, tujuan tidak bisa menghalalkan seseorang untuk menggunakan segala macam cara untuk meraihnya.
Oleh karenanya, seorang pengusaha muslim tidak boleh mengumpulkan harta dari sesuatu yang haram, seperti dari riba atau hal lain yang diharamkan syari’at Islam, kemudian ia gunakan untuk menafkahi dirinya, keluarganya, untuk membangun masjid atau pesantren, atau untuk melakukan ibadah haji dan umrah. Karena amal tersebut ditolak oleh Allah. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
« إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ »
“Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang beriman sebagaimana perintah-Nya kepada para Rasul. Allah berfirman: “Hai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.” (QS. Al-Mu’minun: 51) dan Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 172)
Kemudian beliau menyebutkan seorang yang bepergian jauh, dengan rambut kusut lagi berdebu mengulurkan kedua tangannya ke langit (seraya berdoa, pen): Ya Tuhan, ya Tuhan, sementara makanannya haram, minumannya haram, bajunya haram, dan diberi makan dengan makanan yang haram, bagaimana mungkin dikabulkan permintaannya?” (HR. Muslim no. 2393)
Dan Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ جَمَعَ مَالاً حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang mengumpulkan harta yang haram, kemudian dia menyedekahkannya, maka dia tidak akan mendapatkan pahala, dan dosanya akan dibebankan padanya.” (HR. Ibnu Hibban no. 3216. Syu’aib Arna’uth berkata, “sanadnya hasan”).
7. Hal-hal yang mendesak (dharurat) membolehkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang haram
Kaidah ini berlandaskan pada firman Allah:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Akan tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)
Prinsip ‘kecuali dalam keadaan terpaksa’ ini diikat dengan suatu batasan ‘tidak boleh melampaui batas’ dalam menggunakan sesuatu yang haram, juga tidak keluar dari batasan darurat.
Dari prinsip ini, ulama fiqih mengambil sebuah kaidah lain yang berbunyi, “Apa yang diperbolehkan dalam kondisi darurat, diukur sesuai dengan ukurannya.”
Keadaan darurat bukanlah seperti pakaian yang elastis sehingga bisa ditafsirkan oleh siapa saja sesuai hawa nafsunya, tanpa ada batasan. Jangan karena atas nama darurat menjadikan seseorang melakukan sesuatu yang haram, terutama riba.
Sesungguhnya darurat itu adalah suatu keadaan yang bisa memaksa seseorang pada kehancuran. Seorang muslim sekalipun dalam keadaan darurat, tidak sepantasnya menyerah pada keadaan, kemudian tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan nafsunya. Hendaknya ia tetap berpegang teguh pada hukum awal bahwa manusia memilih yang halal, sehingga dia tidak terbiasa melakukan yang haram atau mempermudah hal yang darurat.
8. Segala bentuk pinjaman yang mengakibatkan keuntungan yang disyaratkan, maka dianggap riba
Objek masalah ini secara langsung adalah riba an-nasi’ah. Suatu pinjaman yang di dalamnya ada tambahan yang telah diketahui sebelumnya adalah riba terang-terangan. Tidak boleh ada keuntungan yang disembunyikan dari modal dasar kontan dan jumlah nominal tertentu. Keuntungan menjadi dibolehkan, jika ia didapat bersamaan dengan perputaran proses produksi dan segala hal yang terkait dengannya. Kemudian keuntungan tersebut akan dibagi berdasarkan pertimbangan unsur-unsur yang digerakkan bersama dalam aktifitas produksi.
Seseorang akan mendapatkan modal kontannya sebesar modalnya dalam pengembangan usaha. Keuntungan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk persentase. Adapun kerugian akan dibagi berdasarkan titik-titik yang bersinggungan dalam upaya pembiayaan proses produksi. Dengan demikian, uang nominal yang diserahkan kontan pada dasarnya tidak diperbolehkan sebagai upah atau ganti atas hutang.
9. Umat Islam tergantung pada syarat mereka
Kaidah ini menjelaskan bahwa orang-orang yang mengadakan akad transaksi hendaknya berkomitmen dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati bersama, selama syarat-syarat tersebut bukan pada masalah yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Hukum asal dalam menetapkan syarat-syarat dalam jual beli adalah mubah. Pendapat ini berdasarkan hadits Rasulullah: “Semua orang Islam berkomitmen dengan syarat yang mereka tetapkan bersama, yang tentunya syarat tersebut berbanding lurus dengan kebenaran.”
Beliau juga bersabda:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ، مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ ، وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Mengapa banyak dari kaum muslimin yang menetapkan syarat-syarat yang tidak didapatkan dalam Al-Qur’an. Barangsiapa yang menetapkan syarat yang tidak ada dalam Al-Qur’an, maka dia tidak mempunyai hak sekalipun walaupun membuat seratus syarat.” (HR. Bukhari II/972 no.2579, dan Muslim II/1141 no.1504)
Pada dasarnya, Rasulullah tidaklah mengingkari kemungkinan adanya syarat yang dibuat oleh mereka yang melakukan transaksi. Yang beliau ingkari adalah syarat-syarat yang ditentukan tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa hukum asal dari pengajuan syarat ini adalah mubah, kecuali jika syarat-syarat tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an (dan As-Sunnah, pen).
10. Segala sesuatu yang diperbolehkan untuk menjualnya, maka boleh juga untuk menyedekahkannya dan menggadaikannya
Maksudnya bahwa menurut syari’at segala sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual, maka diperbolehkan juga untuk dihibahkan, disedekahkan, dan dijadikan jaminan.
Demikian tulisan sederhana tentang beberapa kaidah dasar dan prinsip Islam dalam menjalankan usaha atau bisnis. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-showab.
Di akses dari abufawaz.wordpress.com/.../memahami-kaidah-kaidah-dasar-dalam-bisnis/ pada tanggal 05 maret 2011
KAIDAH DASAR ISLAM
31 Juli 2010 oleh miftach19
Kaidah dan Prinsip-prinsip dalam Islam berikut ini layak untuk difahami oleh seorang Muslim yang menginginkan pemahaman dan pengamalan Islam secara benar, dan terhindar dari penyimpangan cara pemahaman dan penerapan Islam.
A. ILMU: [1]
• Ilmu didahulukan sebelum perkataan dan perbuatan.
Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban” (QS. Al Isra: 36)
• Keutamaan Ilmu Syar’i (agama) dan keutamaan mempelajarinya
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H) rahimahullaah menyebutkan lebih dari seratus keutamaan ilmu syar’i. Di buku ini penulis hanya sebutkan sebagian kecil darinya. Di antaranya:
1. Orang Yang Berilmu Akan Allah Angkat Derajatnya [QS Al Mujadilah: 11]
2. Kesaksian Allah Ta’ala Kepada Orang-Orang Yang Berilmu
3. Orang Yang Berilmu Adalah Orang-Orang Yang Takut Kepada Allah
4. Ilmu Adalah Nikmat Yang Paling Agung [An-Nisaa’: 113]
5. Faham Dalam Masalah Agama Termasuk Tanda-Tanda Kebaikan
6. Orang Yang Berilmu Dikecualikan Dari Laknat Allah
Dari Abu Hurairah (wafat th. 57 H) radhi-yallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, orang berilmu, dan orang yang mempelajari ilmu.’” (HR. At-Tirmidzi)
7. Menuntut Ilmu Dan Mengajarkannya Lebih Utama Daripada Ibadah Sunnah Dan Wajib Kifayah
8. Ilmu Adalah Kebaikan Di Dunia
Mengenai firman Allah Ta’ala: “Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia”
Al-Hasan (wafat th. 110 H) rahimahullaah berkata, “Yang dimaksud kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah.” Dan firman Allah: “Dan kebaikan di akhirat.” [Al-Baqarah: 201]
Al-Hasan rahimahullaah berkata, “Maksudnya adalah Surga.”
9. Ilmu Adalah Jalan Menuju Kebahagiaan
10. Menuntut Ilmu Akan Membawa Kepada Kebersihan Hati, Kemuliaannya, Kehidupannya, Dan Cahayanya
11. Orang Yang Menuntut Ilmu Akan Dido’akan Oleh Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam
12. Menuntut Ilmu Adalah Jihad Di Jalan Allah Dan Orang Yang Menuntut Ilmu Laksana Mujahid Di Jalan Allah Ta’al
13. Pahala Ilmu Yang Diajarkan Akan Tetap Mengalir Meskipun Pemiliknya Telah Meninggal Dunia
14. Dengan Menuntut Ilmu, Kita Akan Berfikir Yang Baik, Benar, Mendapatkan Pemahaman Yang Benar, Dan Dapat Mentadabburi Ayat-Ayat Allah
15. Ilmu Lebih Baik Daripada Harta
c) Hal-hal yang wajib diketahui:
1. Mengenal Allah
2. Mengenal Nabi Muhammad
3. Mengenal Agama Islam dengan dalil
B. MANHAJ
Definisi Manhaj: Metode, tata cara, prinsip-prinsip, kaidah beragama.
Manhaj Salaf adalah Manhaj Pilihan:
- Salaf : Pendahulu. Dalam konteks syar’i, maknanya adalah para sahabat nabi & dua generasi sesudahnya (tabi’in dan tabi’ut-tabi’in.
- Manhaj Salaf : Metode beragama (memahami dan mengamalkan Islam) sesuai dengan apa yang difahami oleh para sahabat nabi dan dua generasi setelahnya.
Mengapa Harus Manhaj Salaf? [2]
1. Sesungguhnya salafus sholih radhiallahu ‘anhu telah nyata kebaikan mereka baik dalam nash maupun istimbath:
“Dan generasi yang terdahulu dan pertama-tama (masuk Islam) diantara kaum muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-selamanya. Itulah kemenangan yang agung.”(AtTaubah:100)
2. Allah berfirman :
“Kalian adalah umat terbaik yang telah ditampilkan untuk manusia, kalian telah beramar makruf dan bernahi munkar dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
3. Maka dari itu Rasulullah bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah genersiku, kemudian oran-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka. Sesudah itu akan datang kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.”(HR Bukhari IV/189, Muslim VII/184-185, Ahmad I/424 dll)
4. Akan lebih jelas lagi, Allah berfirman :
“Dan demikianlah kami telah menjadian kamu sebagai umat pertengahan agar kalian bisa menjadi saksi bagi manusia dan Rasul juga menjadi saksi atas kalian.”(Al-Baqarah:143)
5. Allah berfirman :
“Dan ikutilah jalannya orang-orang yng kembali kepada-Ku”(Luqman:15)
Semua sahabat radhiallahu anhum adalah orang-orang yang kembali (dengan ikhlas dan taat) kepada-Nya dan Allah telah memberi hidayah pada baiknya perkataan dan shalihnya amal perbuatan mereka dengan firman-Nya :
“Yang mendengarkan perkataan lalu mereka mengikuti apa yang paling baik dantaranya (Al-Qur’an). Mereka itulah orang-orang yan telah diberi Allah petunjuk dan merekalah orang-orang yang berakal.”(Az-Zumar:18)
Dari sini, wajib bagi kita untuk mengikuti jalan mereka dalam memahami Dienullah, baik dalam memahami Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Allah mengancam orang-orang yang mengikuti selain jalannya para shahabat dengan neraka Jahannam dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali
6. Allah berfirman :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum mukminin, Kami biarkan dia leluasa bergelimang dalam kesesatan Jahannam dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.”(An-Nisa:115)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah mengancam kepada orang yang mengikuti selain jalannya kaum mukminin (yaitu para sahabat, karena mereka adalah orang mukminin yang haq). Maka mengikuti jalannya kam mkminin (para sahabat) dalam memahami syari’ah adalah hal yang wajib dan menyelisihnya adalah merupakan kesesatan.
7. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, dia berkata :
“…Bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit, apabila bintang-bintang itu sirna maka kan menimpanya, dan aku adalah pengaman bagi para sahabatku, dan para sahabatku adalah pengaman bagi umatku. Apabila mereka telah pergi maka akan datang sesuatu yang telah dijanjikan kepada umatku.”(Dikeluarkan oleh Muslim, lihat syarh Nawawi XVI/82)
C. TAUHID [3]
Secara ringkas pembahasan Tauhid meliputi beberapa hal berikut:
Tauhid merupakan inti dakwah para rosul, yaitu mengajak manusia beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan Thagut (segala yang disembah selain Allah), Dalilnya:
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). [An-Nahl: 36]
Macam Tauhid:
1) Tauhid Rububiyyah
Mengesakan Allah dalam hal mencipta, mengatur, memberi rizqi, menghidupkan, mematikan.
2) Tauhid Uluhiyyah
Mengesakan Allah dalam hal penyembahan atau beribadah, membersihkan dari segala yang disekutukan selain Allah.
3) Tauhid Asma’ dan Shifat
Menerima dan Mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-Nya yang Tinggi dan Mulia, yang tidak serupa dengan makhluknya, tanpa menolak, mentakwil, menyimpangkan arti, dan menayakan bagaimananya.
Keutamaan Tauhid dan Bahaya Syirik
Tauhid adalah ibadah tertinggi dan perintah terbesar. Dan termasuk syarat diterimanya ibadah.
“…sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[Setan dan saegala yang disembah selain Allah] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al Baqarah: 256]
Buhul tali yang amat kuat dalam ayat di atas adalah kalimat tauhid: لا إله إلا الله
yang artinya: “Tiada yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah”
Sedangkan kesyirikan adalah Dosa terbesar dan pembatal keimanan serta penghapus amal. Dan yang paling berbahaya, pelaku kesyirikan jika mati dalam keadaan syirik dosanya tidak akan diampuni. Di antara dalilnya adalah:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [QS. An-Nisa’: 48]
D. IBADAH
Definisi Ibadah:
Ibadah adalah sesuatu yang mencakup segala yang dicintai dan diridhai Allah, baik perkataaan maupun perbuatan, yang lahir maupun batin.
Syarat Ibadah:
Adapun syarat ibadah itu dua hal: yaitu Ikhlas dan benar.
Sedangkan amalan dikatakan Ikhlas jika tidak tercampuri oleh kesyirikan baik besar maupun kecil. Dan suatu amal dikatakan benar apabila ittiba’ (mengikuti) tuntutan Rasululullah.
E. SUNNAH
Definisi
1) Secara Bahasa Arab, Sunnah berarti metode, perjalanan hidup, kebiasaan, atau perilaku.
2) Secara istilah syari’at: menurut para Ahli Hadits, adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, yang berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakter, akhlak, ataupun perilaku. Dalam hal ini sunnah identik dengan Al Hadits.
3) Jika disebutkan berkaitan amalan-amalan dalam islam, maka sunnah berarti kebalikan dari bid’ah (perkara baru yang diada-adakan dalam urusan agama.
Kedudukan
As-sunnah menjadi ketetapan dan sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al Quran. Tentu saja sunnah di sini adalah yang shahih (benar) dating dari Nabi, bukan yang lemah kedudukannya apalagi bersumber dari sunnah
Keutamaan Mengikuti Sunnah:[4]Sesungguhnya Sunnah itu jalan keselamatan dari perselisihan
1. Sunnah itu pelepas dari perpecahan
2. Sebagai jalan keselamatan dari kesesatan
3. Penisbatan (penyandaran) kepada Sunnah adalah penisbatan paling mulia kepada Nabi,
4. Dengan mengikutinya kita terlepas dari jalan-jalan syaitan
5. Dengan mengikutinya seoarang muslim mengangkat dirinya dari kerendahan dan kehinaan.
6. Sesungguhnya di dalam Sunnah terdapat pembeda antara penyakit dan obat.
7. Sesunguhnya di dalamnya terdapat perwujudan syariat secara keseluruhan.
8. Dengannya akan terwujud kesempurnaan akhlak yang karim (mulia)
9. Dengannya seorang muslim akan selamat dari adzab yang pedih di neraka.
10. Dengannya seorang muslim akan memperoleh pahala masuk surga.
11. Dengan mengikuti sunnah, maka termasuk orang yang menghidupkan sunnah, dan dengan demikian sunnah pun akan hidup.
F. AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
Definisi
Amar Ma’ruf : Memerintahkan kepada perkara yang ma’ruf (kebaikan).
Nahi Munkar : Melarang dari yang munkar (jelek, buruk).
Landasan Perintah:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Imran: 104).
Abu Ja’far Al-Bakir berkata: Rasulullah membaca kemudian beliau berkata: Alkhoir (kebajikan) di sini ialah mengikut Al-Qur’an dan sunnahku (Tafsir Ibnu Katsir 1/518).
At Thabari berkata:
1. Al-khair (kebajikan) di sini ialah Islam dan syariatnya yang disyariatkan Allah pada hambaNya.
2. Al-Ma’ruf di sini ialah mengikut Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan dien Islam yang dibawanya.
3. Al-Munkar di sini ialah kufur pada Allah, mendustakan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan apa-apa yang dibawanya (Tafsir At Thabari, 4/26).
Urgensi
Amar Ma’ruf Nahi Munkar termasuk salah satu pilar tegaknya agama Allah di muka bumi. Yang dengannya kebenaran akan diketahui dan kebathilan akan tersingkap. Karena sesungguhnya factor terbesar penyebab terjadinya kemunkaran karena dua hal:
Pertama : Kebodohan umat terhadap ajaran dien
Kedua : Lemahnya Iman dan Godaan Syaithan
Kaidah
Rasul Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran maka ia harus mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan linsanya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim 1/22).
G. AKHLAK
Definisi
Akhlak merupakan suatu sifat yang melekat pada diri seseorang, bisa berupa fisik maupun sifat jiwa, bisa baik bisa juga buruk. Akhlak sering juga disebut dengan perangai, tabiat, budi pekerti. Islam sangat memperhatikan masalah akhlak dan mengajari umat untuk berhias dengan akhlak yang mulia.
Telah bersabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaqnya” [5]
Ruang lingkup Akhlak.[6]
Pertama : Berakhlaq mulia dalam bermuamalah dengan Allah ‘Azza wa Jalla.
Berakhlaq mulia dalam bermuamalah dengan Allah mencakup tiga perkara:
1) Mengambil kabar-kabar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara membenarkannya.
2) Mengambil hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara melaksanakan dan menerapkannya.
3) Menerima takdir baik dan buruk-Nyaldengan penuh sabar dan ridha.
Kedua : Bersopan santun dalam bermualamah dengan sesama makhluk.
Adapun berperilaku sopan santun dengan sesama makhluk, sebagian ulama telah mendefinisikan sebagai berikut:
كَفُّ الأَذَى وَبَذْلُ النَّدَى وَطَلاقَةُ الَوَجْهِ
“Menahan gangguan, mengerahkan bantuan dan menampakkan keceriaan.“
Cara meraih akhlak mulia
1) Hendaklah ia mengamati dan menelaah kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya.
2) Bersahabat dengan orang yang telah dikenal kemuliaan akhlaqnya, dan jauh dari sifat-sifat rendah dan perbuatan-perbuatan hina.
3) Hendaklah ia memperhatikan akibat buruk dari akhlaq tercela, karena orang yang berakhlaq buruk pasti dibenci, ditinggalkan, dan akan dikenal dengan sebutan yang jelek.
4) Hendaklah ia selalu menghadirkan gambaran akhlaq mulia Rasulullah.
Contoh Akhlak mulia yang telah dicontohkan Rasulullah dan para shahabatnya[7]:
1) Ikhlas dalam Ilmu dan amal serta takut riya’ (ingin dilihat).
2) Jujur dalam segala hal dan menjauhi kedustaan.
3) Sungguh-sungguh dalam menunaikan amanat dan tidak khianat.
4) Menjunjung tinggi hak Allah dan Rasul-Nya.
5) Meninggalkan kemunafikan.
6) Lembut hati, ingat mati dan takut akan Su’ul Khatimah (akhir yang jelek).
7) Banyak dzikir (mengingat Allah).
8) Tidak bicara sia-sia.
9) Senyum (muka ceria) kepada sesama muslim, tawaadhu’ (rendah hati), dan tidak takabbur (sombong).
10) Banyak istighfar dan taubat.
11) Sungguh-sungguh dalam bertaqwa. Imam Asy Syafi’i berkata bahwa taqwa itu meliputi tiga pilar:
• Takut kepada Allah
• Menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
• Beramal sesuai tuntunan syari’at Islam.
12) Sibuk dengan ‘aib sendiri dan menutupi ‘aib orang lain.
13) Senantiasa menjaga lisan dan tidak ghibah (menggunjing).
Lisan harus dijaga dari perbuatan yang haram seperti: ucapan kufur/kafir (Contoh mengatakan: ‘Syariat dan sunnah nabi sudah tidak relevan untuk zaman sekarang’)!, ucapan syirik (seperti perkataan: ‘Kalau bukan karena Fulan saya bisa begini atau begitu…’; minta perlindungan kepada penghuni kubur atau tempat tertentu, dan lain-lain), ucapan maksiat, menggunjing, menyebarkan berita-berita yang belum jelas(Gosip),
14) Memiliki sifat pemalu.
15) Banyak memaafkan dan sabar terhadap orang yang menyakiti.
16) Banyak shadaqah, dermawan, dan suka menolong orang yang susah.
17) Mendamaikan saudara muslim.
18) Tidak hasad (iri, dengki) dan tidak buruk sangka.
19) Berani mengatakan kebenaran tanpa ragu terhadapnya serta menyukainya.
________________________________________
[1] Pembahasan bab ini merujuk pada “Kitab Al Ilmu” karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, serta buku “Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga”, karya Al Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, ditambah sumber lain.
[2] Pembahasan ini merujuk pada risalah yang di Tulis oleh Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly.
[3] Bab ini merujuk pada Kitab Dalaailut-Tauhid Su’al wal Jawab fil ‘Aqidah, penyusun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
[4] Pembahasan ini merujuk pada Kitab Fadhlu Ittiba’is-Sunnah, karya Syaikh DR. Muhammad Umar Bazmul.
[5] Dikeluarkan oleh Abu Daud, No (3682) di Kitaabus Sunnah, dan Tirmidzi, No (1162) di Kitaabur Radhaa’, dan dalam riwayatnya ada tambahan:” Dan sebaik-baik kalian adalah yang berbuat baik terhadap kaum wanita “, dan dikeluarkan juga oleh Iman Ahmad di kitab Al-Musnad (2 / 472), hadits tersebut ada di kitab Shahiihul Jaami’, No (1230 , 1232).
[6] Pembahasan ini merujuk pada Kitab Makarimul Akhlaq, Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
[7] Poin-poin pembahasan ini menukil dari Buku “Prinsip Dasar Islam menurut Al Quran dan Sunnah yang Shahih” karya Ust. Yazid Abdul Qodir Jawas
Diakses dari www.findtoyou.com pada tanggal 05 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar