1. Analisis Pengaruh Transmisi Pemikiran Yunani ke dalam Islam
Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah, khususnya pada waktu khalîfah al-Mafmûn (berkuasa sejak 813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasa Arab terjadi secara besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah. Perpustakaan besar Bait Al-Hikmah didirikan oleh khalîfah al-Mafmûn di Baghdad yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual. Sebuah perpustakaan yang sangat bagus sekali yang tidak didapatkan contohnya di dalam kebudayaan Eropa Barat. Para penerjemah yang pada umumnya adalah kamu Nasrani dan Yahudi bahkan penyembah bintang digaji dengan harga yang sangat tinggi.
Buku-buku yang ditejemahkan terdiri dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa Yunani, Suryânî, Persia, Ibrânî, India, Qibti, Nibti dan Latin. Keberagaman sumber pengetahuan dan kebudayaan inilah yang kemudian membentuk corak filsafat Islâm selanjutnya. Dan perlu diakui bahwa di antara banyak pengetahuan dan kebudayaan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, karya-karya klasik Yunani adalah yang paling banyak menyita perhatian. Khususnya karya-karya filsuf besar Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Beberapa karya dari kebudayaan Persia dan India hanya meliputi masalah-masalah astronomi, kedokteran dan sedikit tentang ajaran-ajaran agama. Seperti karya al-Birûni (w. 1048), sejarahwan dan astronom muslim terkemuka, Tahqîq mâ li al-Hind min Maqûlah (Kebenaran Ihwal Kepercayaan Rakyat India). Dalam tulisannya itu ia menguraikan kepercayaan fundamental orang-otang Hindu dan menyejajarkannya dengan filsafat Yunani. Atau terjemahan Ibn al-Muqaffa‘ (w. 759) yang berjudul Kalilah wa Dimnah (Fabel-fabel Tentang Guru) diterjemahkan dari bahasa Sanskerta yang merupakan penegetahuan sastra Persia.
Seperti yang dikatakan oleh Shaliba dalam bukunya, al-falsafah al-eArabiyah, terbentuknya filsafat Islâm terjadi dalam dua tahap. Pertama tahap penerjemahan dan kedua tahap produksi pengetahuan atau pemikiran. Setelah melewati tahap penerjemahan maka mulailah bermunculan filsuf-filsuf Islâm yang mengambil jalur metode filsafat Yunani seperti yang dimulai dari al-Kindi hingga ibnu Khaldûn.Menurut Fazlur Rahman, yang disebut filsafat Islâm dalam hubungannya dengan filsafat Yunani harus dilihat dalam konteks hubungan gbentuk-materi. Jadi filsafat Islâm sebenarnya adalah filsafat Yunani secara material namun diaktualkan dalam bentuk sistem yang bermerek Islâm. Sehingga dengan demikian tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa filsafat Islâm hanya merupakan carbon copy dari filsafat Yunani atau Helenisme.Sementara Shaliba yang kurang lebih sependapat dengan pendapat Rahman, ia mengatakan bahwa salah satu perbedaan filsafat Islâm dengan Yunani ada pada maksud dan tujuannya. Menurutnya, tujuan dari filsafat Yunani adalah lebih dilatarbelakangi nilai estetis sementara dalam filsafat Islâm karena dorongan ajaran agama (Islâm) . Dari sini dapat didapat bahwa pemikiran Yunani masuk ketika Islam mulai mengembangkan wilayah kekuasaannya sampai ke eropa, sehingga banyak mendaptakan ilmu dan pengalaman baru.
2. Analisis Pandangan Tokoh Filsafat Antara Wahyu (Agama) dengan Akal
Menurut Al-Kindi, (796-873M) antara akal dan agama tak ada pertentangan. Akal berusaha mencari akal ia artikan sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar. Selanjutnya filsafat dalam pembahasannya memakai akal dan agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai argumen-argumen rasional. Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada "Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan.
Filsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia dalam pendapat Al-Kindi adalah filsafat ketuhanan atau teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan tidak dilarang, tetapi wajib. Dengan filsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat (kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals).Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli, (haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk jenis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar